Sebagai ekonom, peneliti dan aktivis/pencinta lingkungan hidup serta pemuka agama, saya lebih banyak mengamati dari hubungan antara ekonomi dan ekosistem. Hasil pengamatan saya selama ini telah mengantarkan saya pada wawasan, baik secara akademik dan spiritual, atas pentingnya kita berperilaku sesuai dengan norma-norma berbasis akademik (sains) dan spiritual.
Krisis lingkungan hidup dan perubahan iklim berdimensi banyak, namun sejatinya bersifat krisis moral di refleksikan dalam wawasan dan gaya hidup manusia yang memandang alam sebagai obyek untuk dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi semata bukan sebagai subyek yang perlu dipelihara untuk kelangsungan kehidupan manusia yang berkelanjutan. Akibat dari krisis moral tersebut, saat ini dunia menghadapi berbagai krisis perubahan iklim, polusi, lenyapnya keanekaragaman hayati dan penyakit zoonosis yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan lainnya. Aktivitas manusia yang tidak berkelanjutan terus merusak area yang luas di planet ini dan jika dibiarkan, dapat mengakibatkan keruntuhan ekosistem yang meluas dan hilangnya keanekaragaman hayati lebih lanjut.
Gambar-1 memperlihatkan riwayat Bencana Hidrometeorologi berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia per tahunnya. Bencana hidrometeorologi adalah bencana yang terkait air akibat perubahan iklim karena kerusakan lingkungan yang semakin masif. Bencana ini berdampak langsung berupa kerusakan bangunan, tanaman dan infrastruktur dan hilangnya nyawa dan harta benda, maupun dampak tidak langsung berupa kerugian dalam produktivitas dan mata pencaharian, utang dan dampak kesehatan manusia.
Kesalahan mengelola hubungan antar manusia (ekonomi) dan hubungan antara manusia dan alam (ekosistem) menimbulkan berbagai krisis. Dengan demikian krisis ini ada dua macam, pertama krisis pada manusia dan krisis pada alam.
PDB menggambarkan pertumbuhan produksi/konsumsi dari suatu negara, PDB positif berarti ada kenaikan ekonomi karena kenaikan produksi/konsumsi. Kita bisa lihat ketika PDB positif hingga 2020, jumlah bencana alam secara selaras juga meningkat. Bila dilihat lebih dalam lagi, lebih dari 95% bencana alam adalah karena kerusakan lingkungan berupa banjir, longsor, badai, kekeringan dan kebakaran hutan dan lahan. Porsi gempa bumi dan tsunami sangat kecil. Bencana alam akibat kerusakan alam ini tentu diakibatkan aktivitas manusia yang memprioritaskan peningkatan ekonomi yang ekstraktif terhadap bumi serta produk buangan yang menyebabkan polusi.
Saat terjadinya pandemi Covid-19 telah mengakibatkan penyusutan pertumbuhan ekonomi sebesar minus 2% akibat penurunan konsumsi dan produksi pada tahun 2020, telah berdampak positif pada penurunan bencana alam. Tahun 2020 telah mengingatkan kita semua atas pentingnya menjaga bumi dengan menjaga konsumsi kita. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan, kesejahteraan diukur tidak hanya dari ekonomi, namun juga sosial dan lingkungan hidup. Atau dengan kata lain, salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan (menurunkan bencana alam) tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.
Masyarakat dan ekonomi bergantung pada berfungsinya jasa pelayanan ekosistem. Interaksi antara manusia dan lingkungan sangat vital, karena jasa ekosistem yang berfungsi merupakan sumber daya yang penting bagi masyarakat. Ekonomi adalah subsistem dari masyarakat manusia, yang juga merupakan subsistem dari kehidupan di bumi dan ekosistemnya. Kesalahan mengelola ekonomi dan ekosistem menimbulkan berbagai krisis, khususnya pada krisis alam dan manusia.
Krisis iklim dan lingkungan hidup merupakan ancaman eksistensial terbesar bagi umat manusia dan akan memperburuk tantangan kemiskinan, ketahanan pangan, persediaan air, ketahanan bencana alam dan perdamaian, yang sangat menghambat pembangunan manusia. Pemimpin dunia menempatkan krisis iklim dan lingkungan hidup sebagai ancaman nomor satu yang dihadapi keamanan manusia, selain faktor ekonomi, geopolitik, teknologi atau sosial lainnya, karena krisis iklim dan lingkungan hidup memperparah ancaman secara keseluruhan.
Banyak yang menganggap umat manusia saat ini telah memasuki zaman Antroposen, di mana manusia adalah satu-satunya faktor paling berpengaruh yang menentukan kesinambungan planet Bumi untuk kehidupan mendatang. Kita tidak bisa berharap hanya ilmu pengetahuan dan teknologi menyelesaikan masalah-masalah mendesak untuk mengatasi krisis iklim dan eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Namun yang diperlukan adalah transisi ke masa depan yang lebih berkelanjutan melalui keterlibatan seluruh spektrum masyarakat dan penerapan pendekatan inovatif yang mengatasi perubahan iklim, tekanan populasi, dan melindungi lingkungan alam berdasarkan perubahan perilaku dan etika lingkungan dalam pola produksi dan konsumsi.
Guna mengatasi ancaman menyeluruh dari perubahan iklim dan tantangan sosial global utama lainnya sambil memastikan pembangunan manusia membutuhkan kerja sama internasional yang tak tertandingi. Untuk itu UNEP telah memprakarsai program Faith for Earth guna mengatasi krisis iklim melalui pendekatan moral dan etika yang diajarkan oleh seluruh agama terhadap bumi.
Etika lingkungan
Etika lingkungan adalah seperangkat norma yang menggambarkan bagaimana manusia harus berperilaku terhadap alam dan sumber dayanya. Norma-norma ini mencerminkan sikap moral tentang apa yang dianggap baik untuk dilakukan/benar atau buruk untuk dilakukan/salah.
Sebagian besar agama muncul pada saat orang-orang sangat dekat terhubung dengan alam, mendapatkan mata pencaharian mereka langsung dari alam. Dengan kemajuan teknologi, dampak globalisasi, urbanisasi yang terus meningkat dan peningkatan mekanisasi pertanian dan produksi pangan, orang-orang saat ini, terutama di kota-kota besar, tumbuh berkembang menjadi tidak perduli alam. Oleh karena itu, seringkali terjadi keterputusan antara apa yang terkandung dalam teks dan ajaran agama dengan praktik yang dilakukan oleh para penganut agama tersebut saat ini.
Agama-agama di dunia mentransmisikan perspektif ekologi, etika dan keadilan dalam kitab suci, ritual, dan praktik kontemplatif mereka. Perspektif ini sekarang harus dibawa ke permukaan mengingat bahwa umumnya keyakinan spiritual terkait dengan kemanusiaan berupa nilai-nilai budaya, inklusi sosial, keterlibatan politik, kemakmuran ekonomi, dan aktivitas sehari-hari.
Membentuk aktivitas manusia global lebih berkelanjutan memerlukan tuntunan nilai-nilai, kepercayaan, etika dan sikap sosial yang mendorong manusia dan hubungannya dengan lingkungan alam. Bagi banyak orang ini akan didorong dari keimanan mereka. Disinilah kemudian Prakarsa Faith for Earth menunjukkan bahwa agama dan sains perlu berjalan seiring guna mengatasi masalah etika Lingkungan.